Pages

Sunday, March 9, 2008

Sekelumit tentang Matsushita

Bolehkah kita menampilkan saduran penuh tulisan seorang kolumnis dalam blog? Dengan mengakhirkan pertimbangan paten dan kemungkinan tulisan ini sudah dipublikasikan di internet, sangat menggelitik untuk saya menampilkan tulisan yang saya pikir sangat bagus ini. Too precious to keep i think

Mari Kita Bergerak Secara Bersama

“Kunci sukses Matsushita karena ia mau mendengar pendapat dan pikiran orang lain,”

(Bunryo Okamoto & Isao Takada, penulis biografi Matsuhita Konosuke )

Ada episode menarik mengenai gaya kepemimpinan Matsushita Konosuke, bos, pendiri dan pemilik Matsushita Electrics di Jepang. Suatu kali seorang insinyur muda yang cerdas mengusulkan produk baru gagasannya sendiri. Rancangan gagasan tersebut kemudian dikaji dalam serangkaian rapat yang cukup panjang dan alot. Dengan gayanya yang khas serta kepercayaan diri yang menonjol, si insinyur muda mampu meyakinkan jajaran pimpinan, sehingga akhirnya usulannya itu diproduksi.

Apa yang kemudian terjadi? Ketika dilempar ke pasar semua perhitungan di atas kertas ternyata meleset. Meski dengan dukungan promosi besar-besaran, produksi tersebut tetap saja tidak laku. Semua pusing menghadapi kenyataan tersebut. Tapi yang paling terpukul tentu saja si insinyur muda yang punya gagasan. Kepercayaan dirinya yang besar, rontok bagai kapas tersiram air. Di kantor ia tidak berani memandang rekan-rekannya yang lain. Ia merasa seluruh jajaran pimpinan mencemoohkannya. Secara mental ia mengalami tekanan berat. Sampai akhirnya ia berkesimpulan, tidak ada jalan lain untuk mengatasinya selain mengundurkan diri.

Suatu malam, ketika ia sedang menyiapkan surat pengunduran dirinya, tiba-tiba pintu rumahnya diketuk orang dari luar. Ketika pintu dibuka, ia kaget setengah mati, sebab yang datang bertamu ke rumahnya tidak lain adalah Matsushita sendiri. Dalam sedetik ia merasa ada palu godam yang sangat berat sudah siap untuk dipukulkan ke kepalanya.

Akan halnya Matsushita, setelah dipersilahkan, masuk dengan ekspresi yang sangat tenang dan teduh. Sangkaan tuan rumah bahwa bosnya itu akan memarahinya habis-habisan, ternyata salah.

Yang pertama ditanyakan oleh Matshusita adalah di mana istri dan anaknya. Ketika keluarga kecil itu muncul ke ruang tamu, dari dalam saku mantelnya Matshusita mengeluarkan bungkusan kecil kemudian diberikan kepada bocah yang sedang lucu-lucunya itu. Ketika dibuka, isinya sebuah mainan yang lucu. Si anak tersebut senang bukan main, sehingga dalam seketika ruang tamu yang sejak tadi senyap itu berubah penuh tawa. Keceriaan seorang anak keecil ternyata mampu membawa perubahan suasana yang sangat besar.

Sampai pamit, tak sepatah pun Matsushita memperbincangkoan tentang produk yang gagal. Ia justru mengajak pribumi berbicara tentang keluarganya, disertai ilustrasi bagaimana kehidupan masa kecilnya sendiri yang berat dan pahit.

Setelah bosnya pergi, si insinyur muda itu tengkurap di atas tatami. Ia menangis terisak-isak. Bukan menangisi kegagalannya, melainkan merasa haru karena sikap bosnya. Ia merasa, di saat-saat yang paling sulit dalam hidupnya justru bosnya itu telah memberi simpati yang sangat dalam. Harga dirinya yang sudah hampir terkubur itu, terasa mencuat kembali, “ Aku harus bangkit,” begitu tekadnya dalam hati. Maka seketika itu juga surat pengunduran diri yang telah disiapkannya itu dirobek dan dibuang ke tempat sampah. Tidak ada gunanya menyesali kegagalan. Yang perlu justru mengatasinya.

Keesokan harinya, ia masuk kantor dengan semangat yang segar disertai tekad yang kuat. “Bukan orang lain, tapi akulah yang harus mencari sebab mengapa produk itu gagal, lalu memperbaikinya secepat mungkin.“ Dan ternyata ia mampu melakukannya. Setelah mengalami perbaikan di sana sini, produk tersebut dilempar kembali ke pasar dan laku keras.

Kepemimpinan gaya matsushita seperti cerita sebelumnya memang merupakan ciri khasnya. Ia menempatkan orang lain sebagai bagian dari dirinya sendiri. Tidak ada sukses yang harus dibanggakan sebagai keberhasilan sendiri. Demikian juga tidak ada kegagalan yang harus ditimpakan kepada orang per orang.

Tatkala Nabi Muhammad saw, beserta pengikutnya memasuki kota Mekah. Umumnya penduduk mekah merasa takut akan terjadi balas dendam yang hebat karena mereka telah memperlakukan kaum muslimin dengan kejam dan bengis.

Sebaliknya yang dirasakan kaum muslimin, mereka cemas akan kehilangan Anutannya, bahwa Muhammad saw akan kembali menetap di kampung halamannya beserta karib keluarganya. Tapi apa yang terjadi?

Kecemasan yang dikhawatirkan itu tak satupun terjadi. Penduduk Mekah dibiarkan menikmati hidupnya dalam keadaan damai, sementara nabi saw kembali ke Madinah beserta kaum Muslimin yang sangat mencintainya karena merasa sudah menjadi bagian dari masyarakat Madinah yang dibentuk berdasarkan konsepnya itu.

Dalam bahasa Demokratis, barangkali itulah yang disebut sebagai masyarakat madani. Sebuah masyarakat dimana setiap anggotanya merasa mamiliki peran dan fungsi yang saling mengisi, saling mengukuhkan, dan saling menguatkan.

Dalam kehidupan sehari-hari hampir tidak pernah kita berjalan sendirian. Selalu ada orang yang ikut berperan atau memberi andil terhadap baik buruknya hasil kerja kita. Sayangnya, kita sering melupakan kenyataan tersebut. Ketika prestasi kita menuai sukses, yang dibanggakan adalah keunggulan sendiri; sebaliknya jika yang kita peroleh adalah kegagalan, maka penyebabnya akan kita arahkan ke pihak lain. Setiap hal yang luar biasa kita catat, namun tidak terbiasa untuk peduli pada hal-hal yang kecil. Padahal dengan cara seperti itu kita sebenarnya sedang secara sistematis mengerdilkan diri sendiri.

Dengan cara yang sangat sederhana Matsushita telah menunjukan bagaimana mengubah sifat kerdil menjadi mulia. Matsushita telah menunjukkan makna sebuah pribahasa, non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk gelar atau ijazah melainkan untuk hidup. Tapi lebih dari semuanya, Matsushita Konosuke adalah seorang Humanis besar. Di tengah bangsa yang dilanda kemelut bertubi-tubi ini, kita di Indonesia memerlukan manusia-manusia seperti itu.



Disadur dari Pikiran Rakyat Sabtu 2 Oktober 2004. H.A.M. Ruslan (wakil Pemimpin Umum HU Pikiran Rakyat)



2 comments:

Anonymous said...

inspiring.
1. Ketika Matshushita mendatangi anak buahnya tadi, dan memberikan cerita hidupnya, itu make sense karena dia sudah mengalami kepahitan hidup, sehingga kata-katanya layak didengarkan. Untuk anak muda yang pengalamannya masih sedikit, bagaimana caranya agar kata2nya penuh hikmah dan layak didengarkan?
2. saya bukan matshushita, bagaimana agar bisa menunjukkan gaya kepemimpinan sendiri?

_anonim_

Lesly Septikasari said...

to anonim
n so does to me
1. wah, bukannya anda justru sudah berpengalaman ya?
perbanyak menyimak 'listening' not 'hearing', untuk menyerap pengalaman. jika berkata tidak didengarkan, ya kerjakan sendiri, dan tunjukkan kalau kata-kata kita itu benar. Nah, kan jadi punya pengalaman.

2. gaya kepemimpinan tergantung dari input yang kita digest dan konstituen yang kita pilih. so, hati-hati dengan yang kita baca dan teman yang kita pilih..

regards.
_lesly_