Pages

Saturday, November 26, 2011

Pelangi Negeri Sakura (Bagian 1)


 “Resuri san, taihen bunben datta..”
Lesly San, proses melahirkannya berat ya..

Yanagisawa San, suster yang tugas jaga pada saat saya melahirkan memulai pembicaraan. Saat itu hari ketiga setelah melahirkan, aku masih dirawat inap di RS. Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaan dari suster periang yang usianya sama denganku itu,
Ee.. kikimashita ka? Hazukashii desune..”
Iya. Ikut mendengarkan ya? Saya jadi malu..
Ya, aku malu, karena saat melahirkan, baik secara sadar maupun tidak, aku menjerit-jerit tak karuan. Dari mulai ayat Al Qur'an, aneka doa, teriakan marah kepada rasa sakit, sampai meremas pukul tangan suami yang mendampingi. Teriakan itu tentu terdengar sepanjang lorong RS sepanjang malam dari mulai kontraksi hingga melahirkan. Rasanya aku menjadi manja dan lemah menghadapi proses yang lazim dialami wanita ini. Namun, kemudian hari aku menyadari bahwa tidak perlu merasa malu, karena memang melahirkan itu nyata-nyata meregang nyawa, antara hidup dan mati, mengalami rasa sakit tak terbayangkan sebelumnya, bagian dari wahnan ala wahnin
***
Aku tiba di kota Yokohama ini 1,5 tahun lalu. Sejak aku datanghampir setiap saat ada saja pengalaman baru, baik saat berinteraksi dengan orang Jepang maupun dalam rutinitas keseharian sebagai seorang full time mom.
Tempat tinggalku berada di daerah perbukitan. Naiklah kereta dari bandara Narita tokyo selama 2 jam, kemudian naik taksi selama 5 menit atau berjalan 20 menit sampailah anda di Istana Tsukushino. Ya, begitulah kami menamai apato (nama untuk rumah kecil kontrakan) 2 lantai ini. Di sebelah rumah kami tinggal seorang Cina, dan satu rumah lagi dihuni pasangan orang Jepang. Ooya san (panggilan untuk orang tua host/pemilik rumah) tinggal berhadapan dengan apato kami sehingga hampir setiap hari kami bertemu, jika keluar rumah.
Ooya san sering sekali mengirimkan hadiah, baik itu sayuran, buah peach, ataupun kue. Kadang Ia gantungkan begitu saja di pintu rumahku. Saat tahu aku hamil, Ooya san memberiku voucher belanja, “Aka chan no mono o katte kudasai.” Belikan perlengkapan bayi ya! Pun ketika si mungil lahir, Ooya san masih memberikan hadiah kelambu tidur dan amplop berisi uang juga.
Saat hamil 8 bulan, Suami Ooya san meninggal. Sejak itu ia tinggal sendirian. Meskipun anak dan temannya menjadi lebih sering berkunjung, kadang masih kulihat raut kesepian di wajahnya, “Toki doki, akachan o tsurete kite yo.” kapan-kapan bawa bayinya kemari ya! ajaknya. Aku bersyukur sekali memiliki tetangga Ooya san yang begitu baik, sementara kebanyakan orang Indonesia lainnya memiliki tetangga Nihon jin (orang Jepang) yang bahkan pura-pura tak kenal meskipun tinggal bersebelahan pintu.
Begitu datang aku harus cepat beradaptasi dengan kondisi baru, dengan pasangan hidup dan lingkungan luar negeri yang sama sekali baru untukku. Tak begitu lama setelah menyelesaikan program magister, aku menikah. Tiga bulan kemudian aku menyusul suami ke Jepang.
Banyak teman-teman yang begitu menikah langsung punya momongan, tapi tidak denganku. Meskipun kiri kananku, juga ibu, memberikan informasi kalau kehamilan tertunda itu wajar, bahkan sampai ada yang bertahun-tahun baru punya momongan, namun tetap saja kekhawatiran itu ada. Hati dan pikiranku belum serta merta bisa menerima alasan itu. Berbagai pikiran buruk melintas, menyesal tidak melakukan pre marital check up, khawatir ada kelainan dengan organ reproduksi, sampai merasa kurang gizi.
Tepat sebulan sebelum kami mengeksekusi keputusan untuk periksa ke dokter, ternyata berkah itu pun datang. Selepas Ramadhan dan masih di bulan syawal 1431 H, berita gembira itu terpastikan, ada denyut berusia tujuh minggu di perutku. Ooya san, Yanagisawa san, dan tentunya para sahabat Indonesia banyak membantu proses adaptasiku, kehamilan hingga melahirkan. Terutama dalam kendala bahasa.