Pages

Sunday, November 28, 2010

Mom-gonna-be in Japan

Diagnosa positif itu akhirnya dikonfirmasi oleh dokter. Meski baru selebar 1 cm (dari hasil USG), gumpalan daging/alaqoh itu berdenyut... masyaalloh, sampai bingung harus merasakan bagaimana. Sudah 6 minggu usianya ... Lagi-lagi rasanya seperti mimpi, beneran gitu ? Setelah menikah 9 bulan, amanah itu datang juga. Subhanalloh. Maha suci Allah yang telah menciptakan kejadian dan manusia dalam bentuknya yang paling sempurna.

Meskipun tidak bekerja atau kuliah, kehidupan di Jepang tetap saja bisa terasa melelahkan. Rasanya pingin ketawa, waktu mendengar berita ada seorang wanita parkir di trotoar Jakarta, beserta pengendara ratusan motor lainnya, "Biar dekat kan tinggal nyebrang untuk belanja mas... " Wah kalau di sini pantang parkir sembarangan, sepeda pun bisa ditilang. Untuk ke mana-mana memang pakai kereta sehingga bisa cepat, tapi untuk menjangkau kereta dan setelah keluar stasiun itu memerlukan perjalanan kaki yang tidak singkat. Kalau rumah kita dekat stasiun, alhamdulillah. Kalau kampus (suami), supermarket atau rumah teman jauh dari stasiun,... alhamdulillah juga, karena bisa gerak jalan hehehe .... dochira demo alhamdulillah to itte (yg manapun ucaplah alhamdulillah). 

Tantangan itu semakin terasa sekarang, dan nanti jika sudah lahiran. Makanya Ibu-ibu jepang memang hebat. Mereka harus kuat karena menjadi tulang punggung di rumah, mengurus semuanya sendiri tanpa pembantu karena gajinya mahal sekali. Selain karena tantangannya, mereka juga serius dalam mengurus keluarganya. Wanita Jepang juga suka bekerja, tetapi setelah mereka menikah, banyak yang berhenti untuk fokus mengurus keluarganya. 

Japanese Take Advantage of Lack of Regulations
Japanese mom membonceng anaknya.. sepedanya ada yang manual atau pakai listrik.

Sementara di sini, karena kondisi sebagai muslimah Indonesia, mesti proaktif mencari informasi rumah sakit yang menyediakan bidan wanita. Alhamdulillah saya bukan yang pertama, jadi banyak teman untuk bertanya. Ditambah lagi ada teman dekat yang lebih dulu hamil 3 minggu (dan bahasa Jepangnya lebih jago), jadilah kami berbarengan ke Rumah Sakit. Rumah sakit yang kami pilih 3 eki (stasiun) jaraknya, atau 6 menit dengan kereta, sementara jalan dari rumah ke stasiun 20 menit -_-' ... 

Prosedur untuk ibu hamil dan melahirkan serta pasca kehamilan di Jepang sudah ter-standar, untuk orang jepang atau asing. Jadi meskipun tak lancar berbahasa Jepang, ada banyak kemudahan, dan tidak banyak pertanyaan, tinggal "Haik, haik" saja... Tapi tentu, bertanyalah pada para senpai (senior) ibu-ibu Indonesia yang pernah melahirkan di Jepang. Pada pertemuan pertama, dokter langsung men-USG, periksa kondisi janin dan menghitung usia serta tanggal prediksi lahirnya. Sedikit sel rahim diambil untuk periksa TORCH, dan urin untuk memeriksa kondisi kesehatan tubuh. Setiap kali datang harus periksa urin, kemudian diambil darah 1 kali untuk cek AIDS dll (soalnya 5 tabung). 

Berikutnya adalah secepatnya ke kuyakusho (kelurahan). Untuk mengambil asuransi kehamilan dan melahirkan plus plus ... disarankan pergi bersama suami karena ternyata diberi macam-macam wejangan juga dari petugasnya, 
"Suaminya kuliah ? ati-ati ya.. kalau istrinya menelepon butuh sesuatu segeralah pulang, 
beri tahu pihak kampus juga kalau istri sedang hamil. Siapkan nomor-nomor telepon darurat, ... nani.. nani.."

Kementrian kesehatan, tenaga kerja dan kesejahteraan Jepang menetapkan “Healthy Parent and Child 21” untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ibu hamil yang beraktivitas. Jadi banyak sekali panduan yang didapat. Selain buku diskon, ada buku bagus tentang informasi kandungan, nutrisi, jadwal-jadwal, do and do not, sampai senam ibu hamil. Ada versi bahasa inggris dan kartunnya juga jadi mudah dipahami. Selain itu juga ada buku kontrol bayi berisi informasi setelah bayi lahir seperti cara merawat bayi, jadwal imunisasi, makanan sampai pelajaran dan mainan untuk bayi. Terakhir kami diberi gantungan dan sticker penanda ibu hamil. Tanda ini penting untuk mendapatkan priority seat di fasilitas publik seperti bis dan kereta, serta dijauhkan dari orang merokok, karena ibu hamil muda biasanya tidak terlihat. Wah...  

Maternity mark goods in Japan for pregnant women
Berbagai marker untuk ibu hamil. Saya dapat gantungan dan stiker.
Tapi jika mengambil kereta Ekspress, label ini bisa tidak berlaku, karena ga keliatan saking desak-desakannya dengan penumpang lain, kursi juga dilipat ...  mana bisa dapat prioritas. Lebih baik ga naik, daripada nanti malah jadi koleps di kereta.

Jya, ganbarimasu!

3 comments:

Anonymous said...

iiih, jadi pengen lahiran di Jepang juga #lho (-.-")

Lesly Septikasari said...

hehe.. aya2 wae mba tika nih. Aamin deh :)

Anonymous said...

Subhanallah...sudah berapa bulan sekarang si Dedek nya Bu? Istri saya juga lagi nunggu detik2 proklamasi nih...untuk yang ke-3 sptnya bidadari lagi :). Salam untuk keluarga....