Syukur itu bisa kita lakukan dengan menjaga dan memelihara setiap karunia dan sumber-sumbernya. Terdapat banyak kebaikan dari orang-orang yang dapat dikatakan ilmunya atau atau status ekonominya kurang dari kita yang justru menjadi sumber pelajaran bagi kita. Sentuhan-sentuhan tersembunyi ini seringkali baru disadari setelah kita mengadakan kontemplasi, atau justru secara serta merta tanpa orang yang menjadi sumbernya itu menyadari betapa besar makna kebaikan sederhana yang ia lakukan untuk kita.
Apabila kita mengakui bahwa setiap sentuhan itu adalah karunia maka ia tidak cukup sekedar dikenang dan dihormati. Tapi kita perlu menjaga dan memeliharanya,
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat pedih.”
Jika kita berdiri hari ini dalam suatu posisi dan status tertentu tentu itu karena takdir Allah dan ada banyak kebaikan orang yang sejatinya mengantarkan kita pada posisi sekarang ini.
Ulasan ini saya dapat dari Majalah Tarbawi, saya re-pro karena menceritakan salah satu aspek seorang leader humanis yang pernah saya liput sosoknya, yaitu Konusuke Matsushita. Seorang pemimpin yang tidak pernah lupa bagaimana ia sampai pada posisinya saat itu, pula seorang humanis yang egaliter ...
Di tahun 1929, terjadi depresi ekonomi global. Surat saham tak lebih nilainya seperti kertas biasa. Saat itu, General Motors terpaksa mem-PHK separo dari 92.829 karyawannya. Perusahaan besar maupun kecil bangkrut, jutaan orang menjadi pengangguran, dan jutaan lainnya kelaparan. Kepanikan terjadi dimana-mana.
Saat itu, Konosuke Matsushita yang memproduksi peralatan listrik bermerek National dan Panasonic baru saja merampungkan pabrik dan kantor dengan pinjaman dari Bank Sumitomo. Kondisi badannya sering sakit-sakitan akibat gizi yang kurang di masa kanak-kanak, ditambah lagi dengan kerja 18 jam sehari, 7 hari seminggu selama 12 tahun merintis usahanya. Hanya semangat hiduplah yang membuatnya bertahan. (perhatikan, selanjutnya dikisahkan bahwa matsushita baru pensiun di usia 94 tahun).
Dengan punggung bersandar ke tembok rumah, Matsushita mendengarkan perekonomian yang terus memburuk ketika manajemennya datang menjenguk. Namun dengan enteng ia menanggapi, “Kurangi separuh produksi tapi jangan mem-PHK karyawan. Kita akan mengurangi produksi bukan dengan merumahkan pekerja, tetapi dengan meminta mereka untuk bekerja di pabrik hanya setengah hari. Kita akan terus membayar upah seperti yang mereka terima sekarang tetapi kita akan menghapus semua hari libur. Kita akan meminta semua pekerja untuk bekerja sebaik mungkin dan berusaha menjual semua barang yang ada di gudang.”
Matsushita yakin dengan kebijakan yang diambilnya, demi kelangsungan hidup anak-istri karyawannya, akhirnya mampu menghasilkan terobosan yang manusiawi pada masa depresi ekonomi tersebut. Kebijakannya kepada para karyawan mendapat hasil yang manis 16 tahun kemudian, ketika perang dunia II berakhir. Ketika itu Jendral Douglas Mc Arthur yang mengendalikan Jepang, menangkapi semua pengusaha Jepang untuk diadili karena keterlibatan mereka selama perang. Pada kurun 1930-an para pengusaha Jepang, termasuk Matsushita, mendapat tekanan rezim militer Jepang saat itu untuk memproduksi senjata dan logistik militer lainnya. Maka Matsushita ditangkap. Sekitar 15.000 pekerja bersama keluarganaya membubuhkan tanda tangan petisi pembelaan untuk Matsushita. Jendral Mc arthur pun tercengang oleh petisi tersebut dan akhirnya membebaskan Matsushita.
Tidak ada pemilik usaha dan pimpinan industri sebelum perang dunia kedua yang diijinkan Mc Arthur kembali ke pekerjaannya kecuali Matsushita. Dan dia terus memimpin perusahaannya sampai menjadi raksasa elektronik dunia, ia baru pensiun di tahun 1989 pada usia 94 tahun.
Kita mesti belajar untuk lebih menghargai, mengakui, mensyukuri dan menjaga sentuhan-sentuhan yang pernah kita terima. Sebab meski tersembunyi, kita telah merasakan manfaat yang besar dan karena itu kita sampai di sini.
Perasaan bangga diri hanya akan menghalangi kita untuk mengambil banyak kebaikan dari orang lain, sedangkan kesediaan untuk mengakui dan selalu belajar akan memberi kita jalan untuk merenungi kesalahan-kesalahan. Orang yang merasa cukup dengan dirinya sendiri seringkali tak mampu menerima perbaikan-perbaikan yang diarahkan kepadanya karena merasa besar diri..
Semoga kita dapat mengambil hikmahnya ^_^
No comments:
Post a Comment