Jangan malu disebut UKM, juga jangan mengecilkan pihak-pihak yang disebut UKM. UKM lebih dari sekedar pedagang emperan dan kaki lima. Berikut kategorisasi UKM dari Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) :
1. Usaha mikro.
a. memiliki kekayaan bersih maksimal Rp 50.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan maksimal Rp 300.000.000
c. memiliki modal (equity) sampai dengan Rp 10.000.000
2. Usaha kecil
a. memiliki kekayaan bersih Rp 50.000.000 – 500.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan Rp 300.000.000 – Rp 2.500.000.000
c. memiliki modal Rp 10.000.000 – Rp 300.000.000
3. Usaha menengah
a. memiliki kekayaan bersih Rp 500.000.000 – 10.000.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan Rp 2.500.000.000 – Rp 50.000.000.000
c. memiliki modal Rp 300.000.000 – Rp 20.000.000.000
Sebuah standar yang lumayan tinggi. Namun penggolongan ini dirasakan cukup penting untuk meningkatkan kualitas UKM sebaimana unsur-unsur pendukung UKM lain. Tahukah anda bahwa UKM menyumbang 53,3% dari Produk Domestik Bruto Nasional dan menyerap 96,18% angkatan kerja yang tersedia di Indonesia, sementara sisanya merupakan kontribusi industri besar. Sementara, nilai produksi ekspor dari UKM sekitar 34.4% dari total industri nasional. Sehingga pantaslah dikatakan bahwa UKM merupakan kekuatan pendorong pembangunan ekonomi utama dalam negeri.
UKM juga ternyata memegang peranan penting di negara industri. Di jepang, industri yang termasuk ke dalam UKM ini tahun 2005 memiliki andil 99.3% dari total jumlah industri, atau tercatat sekitar 293 ribu UKM. UKM ini dengan klasifikasi jumlah pekerja resmi 4 sampai 30 orang. Industri yang berbasis UKM ini ternyata mampu menyerap 8.2 juta tenaga kerja, dengan total produksi 98.7 trilyun Yen. Sehingga bisa dikatakan bahwa UKM adalah penggerak ekonomi sektor riil di Jepang sekaligus penopang kemajuan teknologi.
Salah satu unsur pendukung utama UKM adalah sektor pendanaan atau permodalan. Dalam lingkup negara, merupakan hal yang keliru jika mengandalkan hutang luar negeri untuk pengembangan UKM. Sebagai contoh, dari proposal hutang untuk pembuatan sistem pengembangan dan pembangunan UKM oleh ADB (Asian Development Bank) tahun 2002, ternyata Indonesia menanggung hutang total sebesar 113 juta USD. Rinciannya adalah hutang ADB 85 juta USD, dan hutang dari penyertaan bank lokal 28 juta USD. Hutang tersebut harus dikembalikan dalam kurun waktu 15 tahun. Hutang luar negeri ini dipakai antara lain untuk System Building Cost, termasuk biaya penyusunan regulasi dan perundangan, Management Cost, Development Cost, dan Recovery Cost.
Selain itu masih ada hutang dalam bentuk asistensi baik bilateral maupun multilateral dari para donor seperti; JICA Jepang, USAID US, GTZ Jerman, Swisscontact Swiss, CIDA Kanada, AusAID Australia, World Bank, UNDP, UNIDO, dll. Sebagai dana asistensi, pinjaman dari berbagai lembaga donor itu digunakan untuk penyusunan kebijakan UKM dalam bentuk asistensi pembentukan suasana bisnis UKM yang kondusif, asistensi penumbuhan usaha baru dan UKM yang berkompetensi, dan juga untuk asistensi perluasan akses pendanaan yang produktif, dll. Jika penyaluran dana ini tidak dikendalikan dengan baik, maka akan sangat rentan salah sasaran dan justru merugikan negara.
Dengan demikian, yang perlu diperhatikan adalah menghentikan paragdigma hutang untuk pengembangan UKM, dan pengaluran insentif atau pinjaman hanya kepada UKM yang layak dan mampu bertahan. Birokrasi penyaluran ini hendaknya mudah diakses dan tidak berbelit-belit.
Belajar dari pengalaman Muhammad Yunus, penerima nobel dari Bangladesh dan pendiri Grameen Bank, jangan terperangkap stigma bahwa kalangan marjinal hanya menjadi beban dan hanya industri besarlah penyelamat perekonomian. Grameen bank berhasil menunjukkan bahwa orang miskin ternyata memiliki tingkat kepercayaan 99% untuk mengembalikan modal. Administrasi yang sederhana dan tingkat kepercayaan yang tinggi memberikan implikasi pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa sebagian besar klien Grameen bank adalah wanita. Di Indonesia pun demikian, ternyata 30% UKM dimiliki oleh wanita dan 30% dari sisanya dikelola oleh wanita (data Asian Development Bank, 2002).
Industri pendukung UKM lain yang perlu dibangun adalah industri jasa yang mampu meenyalurkan produk UKM ke pasar. Komunitas UKM juga perlu dibentuk sehingga UKM dapat bergaul dan meningkatkan usahanya. Sehingga sekiranya terjadi krisis, resiko pertama tidak langsung ditanggungkan kepada UKM, tetapi dihadapi oleh industri pendukung UKM tersebut. Sudah menjadi kewajiban pemerintah dan lembaga terkait untuk memikirkan usaha pencegahan dengan segera membuat kondisi ekonomi pendukung UKM secara solid dan stabil. Jangan sampai terjadi hal seperti di Jakarta, di mana ratusan pengusaha tempe terancam gulung tikar karena harga tempe yang sebagian besar masih diimpor melonjak tinggi.